BERAGAMA
DI NEGERI YANG SEDANG MEMBANGUN KEDEWASAAN
Saeni, seorang nenek
penjual warteg akhir-akhir ini beritanya memenuhi media nasional. Wartegnya
ditutup paksa dan dagangannya disita oleh Satpol PP karena berjualan di siang hari
saat bulan ramadhan. Sontak hal ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Tindakan yang dilakukan oleh satpol PP tersebut berdasarkan surat edaran
Walikota Serang 451.13/739-kesra/2015 dan Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Dari pihak yang iba
terhadap si nenek, lewat akun media sosial berhasil menghimpun simpati serta
meggalang dana bantuan. Kabarnya hasil penggalangan dana terkumpul hingga
ratusan juta rupiah.
Buntut dari peristiwa
tersebut, beberapa kelompok yang mengatas namakan kemanusiaan menuding tindakan
aparatur negara sebagai tindakan yang arogan. Islam yang dianggap sebagai agama
pemilik bulan romadhon juga terseret dipandang sebelah mata. Disisi lain,
beberapa pihak juga mengungkit tentang pemberhentian aktivitas dan penerbangan
ketika hari minggu di Papua karena ibadah umat kristen dan Peringatan Nyepi di
Bali. Kebijakan tersebut juga dilindungi oleh aturan Perda, dan tidak ada yang
memprotes. Sehingga banyak pihak menganggap tragedi warteg ini dibesar-besarkan
untuk menyerang agama Islam.
Peristiwa ini adalah
gambaran dari kehidupan beragama di Indonesia. Negeri yang berisi banyak agama
dan berumur kepala tujuh ini ternyata masih mencari jati diri kehidupan
beragama. Dalam pendekatan antropologis, berdasarkan perilaku pemeluk agama di
Indonesia, baik memperlakukan diri sendiri maupun terhadap orang lain (agama,
golongan, kelompok dan aliran lain), masalah keagamaan muncul karena tafsir skriptual,
politik, dan pembiaran terjadinya kemungkaran oleh negara.
Kitab suci adalah instrumen
dari Tuhan kepada hambanya. Karena berasal dari Yang Maha Kuasa maka banyak
yang pemeluk agama memandang instrumen ini berwarna hitam putih, yang hanya ada
benar dan salah. Sedangkan kitab suci turun berpuluh abad yang lalu sering
bertabrakan dengan perkembangan jaman atau modernisasi. Hal ini menyebabkan
banyak munculnya pepemikiran-pemikiran baru oleh para agamawan. Latar belakang
pendidikan, riwayat hidup, kondisi sosial dan budaya adalah penyebab para
agamawan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan agama
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan, saling meghakimi dan merasa paling
benar sendiri. Kondisi ini diperparah dengan beberapa institusi pendidikan
agama yang sistem pengajarannya tertutup bak kaca mata kuda. Sehingga pemeluk
agama memandang dunia hanya seluas yang ada didepan mata.
Lain cerita dengan
masalah politik di iklim demokrasi Indonesia. Hubungan keduanya adalah, agama bermain
dalam percaturan politik dan perpolitikan memainkan agama. Implikasi dua hal
tersebut intinya adalah sama, yaitu kekuasaan. Jika agama memainkan percaturan
politik dan memenangkan kontestasi niscaya akan menyebar luaskan ajarannya dan
menyebarkan propaganda. Tidak menutup kemungkinan agama pemenang bersifat “pek menange dewe” (egoisme) terhadap
agama lainnya. Contoh, kehidupan beragama di Bali yang pemimpinnya beragama
Hindu, juga di Papua yang pemimpinnya beragama Kristen, serta Aceh yang
menerapkan syariat Islam. Namun ketika perpolitikan yang memainkan agama, ia
tak lebih hanya tunggangan, penyumbang massa dan corong kepentingan penguasa.
Bahkan agama bisa disulap menjadi pil penenang untuk menjinakkan gejolak di masyarakat.
Agama bisa menjadi domba aduan, melanggengkan rezim, dan menumbangkan rezim.
Yang terakhir adalah
masalah pembiaran terjadinya kemungkaran oleh negara. Mengambil istilah dari
Islam, ”amar ma’ruf nahi mungkar” kalimat
tersebut adalah seruan untuk berbuat kebaikan dan mencegah kejahatan. Atas
dasar tersebut, semua agama menyerukan untuk berjihad dan menegakkan ajaran
Tuhan di muka bumi. Kasusnya di Indonesia, negara dianggap tidak mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang mendera bangsa ini. Beberapa kelompok
memutuskan untuk mengambil inisiatif dan main hakim sendiri dalam
memperjuangkan kepentingan umat ala
pemahaman kelompok tersebut. Meski banyak yang tidak setuju dengan cara
kelompok tersebut, tetapi tindakan kelompok tersebut perlu diapresiasi.
Ditengah rapuhnya hukum di negeri ini, kelompok tersebut berani mengambil sikap
untuk berjuang, sementara yang lain hanya diam dan mendiamkan. Apa yang kelompok
tersebut lakukan mungkin saja salah dimata hukum. Namun tindakan kelompok
tersebut didasari atas kekecewaan penegakan hukum di Indonesia yang tumpul keatas
dan tajam kebawah. Jadi wajar saja jika kelompok tersebut tidak pernah takut
untuk terus melakukan aksinya meskipun main hakim sendiri.
Konflik agama dalam
masyarakat multikultural terjadi karena urusan teologis dan sosiologis tidak ditempatkan
pada posisi yang seimbang. Dari sisi teologis, para pemeluk agama harus meyakini
kebenaran agamanya dan mengamalkan segenap ajaran agamanya. Sedangkan di sisi
sosiologis, para pemeluk agama harus menghargai hak dan bersikap terbuka
terhadap pemeluk agama lainnya. Diantara urusan teologis yang kaku dan
sosiologis yang luwes, terdapat ruang filosofis yang hadir sebagai pandangan
hidup. Ruang filosofis yang gandrung akan kebijaksanaan inilah yang membuat
pemeluk agama bisa berdamai dan duduk bersama membicarakan kemaslahatan ummat.
Sesungguhnya kedamaian adalah
harapan masyarakat indonesia. Kaum skriptualis, politikus maupun kelompok yang
menginginkan pemberantasan kemungkaran juga menginginkan hal yang sama. Kedamaian
ini bisa dicapai jika semua pihak bersikap dewasa menyeimbangkan antara urusan
teologis dan sosiologis serta berpandangan filosofis. Sudah saatnya negeri ini
berbenah dan menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Negara harus hadir sebagai
juru damai dan pejaga harapan masyarakat Indonesia. Kelompok mayoritas harus
bersikap adil, toleran, dan egaliter. Kelompok minoritas harus tahu diri dan
menghargai konsensus yang sudah ada sebelumnya atau yang disepakati oleh
masyarakat. Kesemuanya ini dibungkus dengan semangat persaudaraan yang terbuka
terhadap pengawasan sosial serta dilindungi oleh sistem hukum yang kuat berdasarkan
kebenaran universal. Secara individu, kebenaran universal akan menuntun manusia
mencapai puncak kesempurnaan penciptaan. Dalam dimensi sosial, kebenaran
universal mewujud menjadi kerja kemanusiaan yang terbuka sebagai konsekuensi
dari perikemanusiaan yang memandang sesama manusia secara positif dan
optimistis.
Posting Komentar