DRAMA EKONOMI GLOBAL (EPISODE 1)
Ekonomi
global, sebuah wacana lama dan itu-itu saja, namun memberi dampak signfikan
dalam urusan hajat hidup orang banyak. Mau menjadi apa kita esok hari
tergantung pada penyikapan kita terhadap ekonomi global yang mau tidak mau
hadir menerpa kita. Wacana yang sempat ramai dibahasas beberapa waktu yang lalu
ini, kini mengalami ke-mandeg-an dalam upaya follow up baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat. Jika
tolak ukur informasi yang berkembang adalah melalui media pers dan jejaring
sosial (sosmed) bila perlu, maka urusan ekonomi global yang tidak sepele ini
terkesan dibiarkan berlalu tanpa dikawal lebih lanjut oleh berbagai pihak.
Berita di media pers maupun sosmed hanya berkutat pada politik orkes sakit hati
dan isu kontemporer yang tidak penting dan tidak menyangkut hajat hidup orang
banyak.
Lantas bagaimana dengan ekonomi
global yang dampaknya lebih penting untuk masyarakat?
Ekonomi
global tidak hanya sekedar berjualan di pasar internasional atau daerah yang
lebih luas. Lebih dari itu, implikasi dari ekonomi global juga merdampak pada
kemajuan teknologi, informasi, komunikasi,
transportasi dan sistem sosial di masyarakat. Ekonomi global juga
merubah skala dunia dengan menjadikan jarak, ruang dan waktu bukan lagi menjadi
hambatan, karena ekonomi global mampu mendobrak batas dan sekat tersebut. Dan
yang terpenting ekonomi global ini akan menentukan nasib negara kita dimasa
yang akan datang, bukan hanya di sektor produksi lokal dan sektor tenaga kerja,
melainkan juga dalam sistem tatanan sosial.
Pusaran
ekonomi global pada akhirnya menyeret negeri ini. Berdasarkan Deklarasi
Singapura pada tahun 1992, para pemimpin bangsa di Asia Tenggara bersepakat
untuk menggagas dibentuknya AFTA (Asean Free Trade Area). Selain AFTA,
Indonesia juga terlibat dalam perjanjian yang sama oleh APEC di wilayah Asia
Pasifik pada tahun 1989, dan Indonesia akan menerapkannya pada 2020 kelak. Dan
saat ini juga, kita menghadapi MEA. Kursi sudah dipenuhi, meja sudah disiapkan,
dadu siap digulirkan, saatnya kita menikmati permainan.
Sebelum
banyak berbicara mengenai ekonomi global, sudahkah negeri ini menyelesaikan
masalah ekonomi yang mendasar dalam dirinya, yaitu kemiskinan. Masalah
kemiskinan ini menyangkut kelayakan hidup dan akses yang dapat diperoleh
masyarakat. Informasi terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 28,51
juta atau 11,13% dari total penduduk Indonesia dan jumlah ini meningkat daibandingkan
pada tahun 2014 yang mencapai 27,73 juta jiwa atau 10,96% dari penduduk
Indonesia. Dapat dikatakan jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 780 ribu
jiwa selama satu tahun ini.
Di
perkotaan, kemiskinan yang pada akhirnya menimbulkan masalah kesenjangan sosial
nampak jelas terlihat. Di satu sisi, seseorang yang kaya bisa menghabiskan
puluhan juta dalam sehari untuk makan di restoran mewah, sedangkan disisi lain ribuan
warga miskin kota tidak bisa mengkonsumsi makan sehat dan layak. Di pedesaan
mungkin masih terasa sejuk, masyarakat masih mandiri dari hasil pertanian. Namun
hanya tinggal menunggu waktu hingga perlindungan terhadap petani tidak ada
lagi, padi tumbuh tak berisi, persawaan dijual untuk perumahan, pedesaan akan
kehilangan kemandirian.
Belum
lagi berbicara masalah akses, pendidikan misalnya, sudahkah masyarakat
menikmati Rp 419,2 Triliun atau 20% anggaran APBN negara yang diperuntukan bagi
sektor pendidikan. Dalam berbagai film atau literaur dapat kita jumpai
bagaimana menyedihkannya kondisi pendidikan di luar Jawa akibat pembangunan (fisik
dan nonfisik) yang tidak merata, dan bahkan di Jawa sekalipun pembangunannya
juga tidak merata. Terutama bagi yang berada di pelosok-pelosok daerah,
anggaran 20% atau bahkan lebih dari itu, pendidikan terasa seperti tidak ada
bedanya. Selain masalah pendidikan, masalah kelaparan dan kesehatan, pemukiman
kumuh, dan partisipasi baik dalam kehidupan masyarakat maupun miskin kesadaran
politik merupakan bukti bahwa negeri ini belum selesai dengan masalah
kemiskinan.
Bagaimana mungkin kita berbicara
(bahkan menghadapi) ekonomi global jika masalah bangsa sendiri belum rampung?
Permasalahan
ini tidak hanya bisa diselesaikan dengan itikad baik dari pemerintah, dengan
program-program yang mendukung peningkatan perekonomian. Ditengah lesunya UKM
dan minimnya perusahaan dalam negeri dalam berdikari membangun perekonomian, pemerintah
harus bersikap cerdas dan tegas terhadap perusahaan asing yang memiliki modal
besar untuk menguasai pasar dan menghegemoni. Perusahaan asing raksasa dengan
ilusinya mampu merubah konstruk pikir manusia Indonesia menjadi konsumeris yang
selalu dibuat lapar tanpa pernah merasa kenyang. Dapat kita jumpai disekitar
kita, hampir kebanyakan masyarakat kita mengganti sepeda motor mereka tiap ada
produk baru, belum lagi para pengguna smartphone/handphone.
Bahkan untuk kebutuhan style, agar
dibilang kekinian dan keren, masyarakat rela membeli sepatu buatan luar negeri
dengan harga yang sangat mahal dibanding sepatu buatan dalam negeri. Juga untuk
urusan harga sembako, dan kini masih diperbincangkan tentang kenaikan harga
daging sapi. Di Malaysia dan Singapura, harga daging sapi berkisar 50 ribu
sampai 60 ribu, sedangkan di Indonesia harga daging sapi bisa mencapai 80 ribu
hingga 120 ribu. Kenapa barang-barang
tersebut bisa dijual mahal dan selalu laku di Indonesia? Salah satunya
adalah karena ruh konsumerisme yang berhasil bercokol didalam sanubari dan menghilangkan
nalar masyarakat. Masyarakat yang seperti ini, sangat tepat jika digambarkan
sebagai masyarakat “zombie” yang kehilangan
nurani dan hidup hanya untuk memenuhi syahwat konsumtifnya.
Tahukah kamu bagaimana cara
membunuh zombie? Dihancurkan otaknya!
Tanpa
antisipasi yang tepat, ekonomi global akan datang menggilas bangsa ini tanpa
ampun. Faktanya, UKM dan perusahaan dalam negeri sedang lesu, produk-produk
buatan Indonesia tidak bisa bersaing secara kualitas dan harga, sikap konsumtif
masyarakat sangat tinggi, maka tidak heran jika nanti negeri ini akan dijadikan
pasar yang mana kita harus membeli air dari perusahaan asing yang airnya diambil
dari tanah kita sendiri. Tercatat kewirausahaan belum tumbuh subur di negeri
ini dan UKM hanya mencapai 0,8% dari semua sektor, padahal di Singapura 9%
penduduknya berwirausaha. Hal ini diperparah dengan penguasaan bisnis-bisnis
besar oleh orang-orang yang sama dan asing. Tanpa ada penyerapan ekonomi dalam negeri
dan kemandirian ekonomi oleh UKM dan perusahaan dalam negeri, yang ada adalah
bangsa ini akan menjadi penyuplai pekerja-pekerja yang sudah tertanam ruh
konsumersisme didalam tubuhnya yang siap melayani hawa nafsu yang maha tiada
habisnya.
Dipihak
yang pro ekonomi global mengatakan dengan adanya perdagangan bebas di sektor
tenaga kerja, maka banyak peluang tenaga kerja untuk bersaing di dunia tenaga
kerja. Sedang pihak yang kontra menuturkan bahwa jika Indonesia tidak bisa
menyeimbangi persaingan tenaga kerja maka indonesia akan kalah telak dalam
persaingan perekonomian dan meningkatkan angka pengangguran. Yang
mengkhawatirkan, ekonomi global dengan taringnya yang tajam akan melakukan liberalisasi
perundang-undangan, supaya perusahaan raksasa skala internasional ini terbebas
dari tekanan negara dan terus memainkan kekuasaan politik yang semata-mata
hanya untuk memuluskan jalan perusahaan tersebut. Konsekuensi lain dari ekonomi
global ini adalah adanya penghapusan biaya tarif import, yang seharusnya
menjadi benteng perlindungan terhadap penetrasi dari kaum imperalis yang akan
membanjiri pasar dalam negeri. Apakah kita
juga dapat melakukan penetrasi yang sama? Jawabannya hampir mustahil
melihat mandulnya produksi dalam negeri dan tangguhnya kaum imperialis
menguasai permainan disetiap lini.
Adakah harapan untuk negeri ini?
-Bersambung-
Posting Komentar