BREAKING NEWS

Jumat, 16 September 2016

BERAGAMA DI NEGERI YANG SEDANG MEMBANGUN KEDEWASAAN



BERAGAMA DI NEGERI YANG SEDANG MEMBANGUN KEDEWASAAN

 
Saeni, seorang nenek penjual warteg akhir-akhir ini beritanya memenuhi media nasional. Wartegnya ditutup paksa dan dagangannya disita oleh Satpol PP karena berjualan di siang hari saat bulan ramadhan. Sontak hal ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Tindakan yang dilakukan oleh satpol PP tersebut berdasarkan surat edaran Walikota Serang 451.13/739-kesra/2015 dan Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Dari pihak yang iba terhadap si nenek, lewat akun media sosial berhasil menghimpun simpati serta meggalang dana bantuan. Kabarnya hasil penggalangan dana terkumpul hingga ratusan juta rupiah.
Buntut dari peristiwa tersebut, beberapa kelompok yang mengatas namakan kemanusiaan menuding tindakan aparatur negara sebagai tindakan yang arogan. Islam yang dianggap sebagai agama pemilik bulan romadhon juga terseret dipandang sebelah mata. Disisi lain, beberapa pihak juga mengungkit tentang pemberhentian aktivitas dan penerbangan ketika hari minggu di Papua karena ibadah umat kristen dan Peringatan Nyepi di Bali. Kebijakan tersebut juga dilindungi oleh aturan Perda, dan tidak ada yang memprotes. Sehingga banyak pihak menganggap tragedi warteg ini dibesar-besarkan untuk menyerang agama Islam.
Peristiwa ini adalah gambaran dari kehidupan beragama di Indonesia. Negeri yang berisi banyak agama dan berumur kepala tujuh ini ternyata masih mencari jati diri kehidupan beragama. Dalam pendekatan antropologis, berdasarkan perilaku pemeluk agama di Indonesia, baik memperlakukan diri sendiri maupun terhadap orang lain (agama, golongan, kelompok dan aliran lain), masalah keagamaan muncul karena tafsir skriptual, politik, dan pembiaran terjadinya kemungkaran oleh negara.
Kitab suci adalah instrumen dari Tuhan kepada hambanya. Karena berasal dari Yang Maha Kuasa maka banyak yang pemeluk agama memandang instrumen ini berwarna hitam putih, yang hanya ada benar dan salah. Sedangkan kitab suci turun berpuluh abad yang lalu sering bertabrakan dengan perkembangan jaman atau modernisasi. Hal ini menyebabkan banyak munculnya pepemikiran-pemikiran baru oleh para agamawan. Latar belakang pendidikan, riwayat hidup, kondisi sosial dan budaya adalah penyebab para agamawan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan agama terpecah-pecah menjadi beberapa golongan, saling meghakimi dan merasa paling benar sendiri. Kondisi ini diperparah dengan beberapa institusi pendidikan agama yang sistem pengajarannya tertutup bak kaca mata kuda. Sehingga pemeluk agama memandang dunia hanya seluas yang ada didepan mata.
Lain cerita dengan masalah politik di iklim demokrasi Indonesia. Hubungan keduanya adalah, agama bermain dalam percaturan politik dan perpolitikan memainkan agama. Implikasi dua hal tersebut intinya adalah sama, yaitu kekuasaan. Jika agama memainkan percaturan politik dan memenangkan kontestasi niscaya akan menyebar luaskan ajarannya dan menyebarkan propaganda. Tidak menutup kemungkinan agama pemenang bersifat “pek menange dewe” (egoisme) terhadap agama lainnya. Contoh, kehidupan beragama di Bali yang pemimpinnya beragama Hindu, juga di Papua yang pemimpinnya beragama Kristen, serta Aceh yang menerapkan syariat Islam. Namun ketika perpolitikan yang memainkan agama, ia tak lebih hanya tunggangan, penyumbang massa dan corong kepentingan penguasa. Bahkan agama bisa disulap menjadi pil penenang untuk menjinakkan gejolak di masyarakat. Agama bisa menjadi domba aduan, melanggengkan rezim, dan menumbangkan rezim.
Yang terakhir adalah masalah pembiaran terjadinya kemungkaran oleh negara. Mengambil istilah dari Islam, ”amar ma’ruf nahi mungkar” kalimat tersebut adalah seruan untuk berbuat kebaikan dan mencegah kejahatan. Atas dasar tersebut, semua agama menyerukan untuk berjihad dan menegakkan ajaran Tuhan di muka bumi. Kasusnya di Indonesia, negara dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mendera bangsa ini. Beberapa kelompok memutuskan untuk mengambil inisiatif dan main hakim sendiri dalam memperjuangkan kepentingan umat ala pemahaman kelompok tersebut. Meski banyak yang tidak setuju dengan cara kelompok tersebut, tetapi tindakan kelompok tersebut perlu diapresiasi. Ditengah rapuhnya hukum di negeri ini, kelompok tersebut berani mengambil sikap untuk berjuang, sementara yang lain hanya diam dan mendiamkan. Apa yang kelompok tersebut lakukan mungkin saja salah dimata hukum. Namun tindakan kelompok tersebut didasari atas kekecewaan penegakan hukum di Indonesia yang tumpul keatas dan tajam kebawah. Jadi wajar saja jika kelompok tersebut tidak pernah takut untuk terus melakukan aksinya meskipun main hakim sendiri.
Konflik agama dalam masyarakat multikultural terjadi karena urusan teologis dan sosiologis tidak ditempatkan pada posisi yang seimbang. Dari sisi teologis, para pemeluk agama harus meyakini kebenaran agamanya dan mengamalkan segenap ajaran agamanya. Sedangkan di sisi sosiologis, para pemeluk agama harus menghargai hak dan bersikap terbuka terhadap pemeluk agama lainnya. Diantara urusan teologis yang kaku dan sosiologis yang luwes, terdapat ruang filosofis yang hadir sebagai pandangan hidup. Ruang filosofis yang gandrung akan kebijaksanaan inilah yang membuat pemeluk agama bisa berdamai dan duduk bersama membicarakan kemaslahatan ummat.
Sesungguhnya kedamaian adalah harapan masyarakat indonesia. Kaum skriptualis, politikus maupun kelompok yang menginginkan pemberantasan kemungkaran juga menginginkan hal yang sama. Kedamaian ini bisa dicapai jika semua pihak bersikap dewasa menyeimbangkan antara urusan teologis dan sosiologis serta berpandangan filosofis. Sudah saatnya negeri ini berbenah dan menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Negara harus hadir sebagai juru damai dan pejaga harapan masyarakat Indonesia. Kelompok mayoritas harus bersikap adil, toleran, dan egaliter. Kelompok minoritas harus tahu diri dan menghargai konsensus yang sudah ada sebelumnya atau yang disepakati oleh masyarakat. Kesemuanya ini dibungkus dengan semangat persaudaraan yang terbuka terhadap pengawasan sosial serta dilindungi oleh sistem hukum yang kuat berdasarkan kebenaran universal. Secara individu, kebenaran universal akan menuntun manusia mencapai puncak kesempurnaan penciptaan. Dalam dimensi sosial, kebenaran universal mewujud menjadi kerja kemanusiaan yang terbuka sebagai konsekuensi dari perikemanusiaan yang memandang sesama manusia secara positif dan optimistis.

Share this:

Posting Komentar

Ads Top

Flickr

Advertising

 
Copyright © 2014 nocturnalwriter. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates