BREAKING NEWS

Jumat, 16 September 2016

DRAMA EKONOMI GLOBAL


DRAMA EKONOMI GLOBAL (EPISODE 1)
 
 

Ekonomi global, sebuah wacana lama dan itu-itu saja, namun memberi dampak signfikan dalam urusan hajat hidup orang banyak. Mau menjadi apa kita esok hari tergantung pada penyikapan kita terhadap ekonomi global yang mau tidak mau hadir menerpa kita. Wacana yang sempat ramai dibahasas beberapa waktu yang lalu ini, kini mengalami ke-mandeg-an dalam upaya follow up baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat. Jika tolak ukur informasi yang berkembang adalah melalui media pers dan jejaring sosial (sosmed) bila perlu, maka urusan ekonomi global yang tidak sepele ini terkesan dibiarkan berlalu tanpa dikawal lebih lanjut oleh berbagai pihak. Berita di media pers maupun sosmed hanya berkutat pada politik orkes sakit hati dan isu kontemporer yang tidak penting dan tidak menyangkut hajat hidup orang banyak.
Lantas bagaimana dengan ekonomi global yang dampaknya lebih penting untuk masyarakat?
Ekonomi global tidak hanya sekedar berjualan di pasar internasional atau daerah yang lebih luas. Lebih dari itu, implikasi dari ekonomi global juga merdampak pada kemajuan teknologi, informasi, komunikasi,  transportasi dan sistem sosial di masyarakat. Ekonomi global juga merubah skala dunia dengan menjadikan jarak, ruang dan waktu bukan lagi menjadi hambatan, karena ekonomi global mampu mendobrak batas dan sekat tersebut. Dan yang terpenting ekonomi global ini akan menentukan nasib negara kita dimasa yang akan datang, bukan hanya di sektor produksi lokal dan sektor tenaga kerja, melainkan juga dalam sistem tatanan sosial.
Pusaran ekonomi global pada akhirnya menyeret negeri ini. Berdasarkan Deklarasi Singapura pada tahun 1992, para pemimpin bangsa di Asia Tenggara bersepakat untuk menggagas dibentuknya AFTA (Asean Free Trade Area). Selain AFTA, Indonesia juga terlibat dalam perjanjian yang sama oleh APEC di wilayah Asia Pasifik pada tahun 1989, dan Indonesia akan menerapkannya pada 2020 kelak. Dan saat ini juga, kita menghadapi MEA. Kursi sudah dipenuhi, meja sudah disiapkan, dadu siap digulirkan, saatnya kita menikmati permainan.
Sebelum banyak berbicara mengenai ekonomi global, sudahkah negeri ini menyelesaikan masalah ekonomi yang mendasar dalam dirinya, yaitu kemiskinan. Masalah kemiskinan ini menyangkut kelayakan hidup dan akses yang dapat diperoleh masyarakat. Informasi terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 28,51 juta atau 11,13% dari total penduduk Indonesia dan jumlah ini meningkat daibandingkan pada tahun 2014 yang mencapai 27,73 juta jiwa‎ atau 10,96% dari penduduk Indonesia. Dapat dikatakan jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 780 ribu jiwa selama satu tahun ini.
Di perkotaan, kemiskinan yang pada akhirnya menimbulkan masalah kesenjangan sosial nampak jelas terlihat. Di satu sisi, seseorang yang kaya bisa menghabiskan puluhan juta dalam sehari untuk makan di restoran mewah, sedangkan disisi lain ribuan warga miskin kota tidak bisa mengkonsumsi makan sehat dan layak. Di pedesaan mungkin masih terasa sejuk, masyarakat masih mandiri dari hasil pertanian. Namun hanya tinggal menunggu waktu hingga perlindungan terhadap petani tidak ada lagi, padi tumbuh tak berisi, persawaan dijual untuk perumahan, pedesaan akan kehilangan kemandirian.
Belum lagi berbicara masalah akses, pendidikan misalnya, sudahkah masyarakat menikmati Rp 419,2 Triliun atau 20% anggaran APBN negara yang diperuntukan bagi sektor pendidikan. Dalam berbagai film atau literaur dapat kita jumpai bagaimana menyedihkannya kondisi pendidikan di luar Jawa akibat pembangunan (fisik dan nonfisik) yang tidak merata, dan bahkan di Jawa sekalipun pembangunannya juga tidak merata. Terutama bagi yang berada di pelosok-pelosok daerah, anggaran 20% atau bahkan lebih dari itu, pendidikan terasa seperti tidak ada bedanya. Selain masalah pendidikan, masalah kelaparan dan kesehatan, pemukiman kumuh, dan partisipasi baik dalam kehidupan masyarakat maupun miskin kesadaran politik merupakan bukti bahwa negeri ini belum selesai dengan masalah kemiskinan.
Bagaimana mungkin kita berbicara (bahkan menghadapi) ekonomi global jika masalah bangsa sendiri belum rampung?
Permasalahan ini tidak hanya bisa diselesaikan dengan itikad baik dari pemerintah, dengan program-program yang mendukung peningkatan perekonomian. Ditengah lesunya UKM dan minimnya perusahaan dalam negeri dalam berdikari membangun perekonomian, pemerintah harus bersikap cerdas dan tegas terhadap perusahaan asing yang memiliki modal besar untuk menguasai pasar dan menghegemoni. Perusahaan asing raksasa dengan ilusinya mampu merubah konstruk pikir manusia Indonesia menjadi konsumeris yang selalu dibuat lapar tanpa pernah merasa kenyang. Dapat kita jumpai disekitar kita, hampir kebanyakan masyarakat kita mengganti sepeda motor mereka tiap ada produk baru, belum lagi para pengguna smartphone/handphone. Bahkan untuk kebutuhan style, agar dibilang kekinian dan keren, masyarakat rela membeli sepatu buatan luar negeri dengan harga yang sangat mahal dibanding sepatu buatan dalam negeri. Juga untuk urusan harga sembako, dan kini masih diperbincangkan tentang kenaikan harga daging sapi. Di Malaysia dan Singapura, harga daging sapi berkisar 50 ribu sampai 60 ribu, sedangkan di Indonesia harga daging sapi bisa mencapai 80 ribu hingga 120 ribu. Kenapa barang-barang tersebut bisa dijual mahal dan selalu laku di Indonesia? Salah satunya adalah karena ruh konsumerisme yang berhasil bercokol didalam sanubari dan menghilangkan nalar masyarakat. Masyarakat yang seperti ini, sangat tepat jika digambarkan sebagai masyarakat “zombie” yang kehilangan nurani dan hidup hanya untuk memenuhi syahwat konsumtifnya.
Tahukah kamu bagaimana cara membunuh zombie? Dihancurkan otaknya!
Tanpa antisipasi yang tepat, ekonomi global akan datang menggilas bangsa ini tanpa ampun. Faktanya, UKM dan perusahaan dalam negeri sedang lesu, produk-produk buatan Indonesia tidak bisa bersaing secara kualitas dan harga, sikap konsumtif masyarakat sangat tinggi, maka tidak heran jika nanti negeri ini akan dijadikan pasar yang mana kita harus membeli air dari perusahaan asing yang airnya diambil dari tanah kita sendiri. Tercatat kewirausahaan belum tumbuh subur di negeri ini dan UKM hanya mencapai 0,8% dari semua sektor, padahal di Singapura 9% penduduknya berwirausaha. Hal ini diperparah dengan penguasaan bisnis-bisnis besar oleh orang-orang yang sama dan asing. Tanpa ada penyerapan ekonomi dalam negeri dan kemandirian ekonomi oleh UKM dan perusahaan dalam negeri, yang ada adalah bangsa ini akan menjadi penyuplai pekerja-pekerja yang sudah tertanam ruh konsumersisme didalam tubuhnya yang siap melayani hawa nafsu yang maha tiada habisnya.
Dipihak yang pro ekonomi global mengatakan dengan adanya perdagangan bebas di sektor tenaga kerja, maka banyak peluang tenaga kerja untuk bersaing di dunia tenaga kerja. Sedang pihak yang kontra menuturkan bahwa jika Indonesia tidak bisa menyeimbangi persaingan tenaga kerja maka indonesia akan kalah telak dalam persaingan perekonomian dan meningkatkan angka pengangguran. Yang mengkhawatirkan, ekonomi global dengan taringnya yang tajam akan melakukan liberalisasi perundang-undangan, supaya perusahaan raksasa skala internasional ini terbebas dari tekanan negara dan terus memainkan kekuasaan politik yang semata-mata hanya untuk memuluskan jalan perusahaan tersebut. Konsekuensi lain dari ekonomi global ini adalah adanya penghapusan biaya tarif import, yang seharusnya menjadi benteng perlindungan terhadap penetrasi dari kaum imperalis yang akan membanjiri pasar dalam negeri. Apakah kita juga dapat melakukan penetrasi yang sama? Jawabannya hampir mustahil melihat mandulnya produksi dalam negeri dan tangguhnya kaum imperialis menguasai permainan disetiap lini.
Adakah harapan untuk negeri ini?
-Bersambung-

Share this:

Posting Komentar

Ads Top

Flickr

Advertising

 
Copyright © 2014 nocturnalwriter. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates